Sitti Irene Komala Dewi telah pergi, pada 2 Mei 2025, hari Jumat. Namun kisah hidupnya masih tertinggal hangat di hati mereka yang pernah disentuh oleh kebaikannya. Ia bukan tokoh besar di layar kaca, bukan pula pemegang jabatan tinggi. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, perempuan yang akrab disapa Yena dan Bijen ini, adalah pelita kecil yang sinarnya menjangkau banyak sudut gelap di sekitar.
Irene tak pernah menuntut banyak dalam hidup. Ia belum menikah, bukan karena tak ada yang datang, tapi karena hatinya memilih untuk mencintai dunia dengan cara yang berbeda.
“Aku ingin hidupku diisi dengan kasih, bukan sekadar status,” ujarnya suatu ketika.
Hingga akhirnya, penyakit itu datang diam-diam. Ia menggendong kanker sejak tujuh tahun terakhir – bukan seperti beban yang ingin disembunyikan, melainkan seperti anak kecil yang terus diajaknya berjalan.
Kanker itu datang seperti pencuri, tapi Yena menanggapinya seperti tamu. Sakit yang dia derita lambat laun membuat tubuhnya melemah. Tapi Yena tetap tersenyum.
Yena bukan bintang di langit, tapi dia lilin yang setia menyala. Dan dalam kepergiannya, kita diingatkan bahwa kebaikan tak selalu harus lantang, cukup ia tulus dan terus berjalan. Ia menolak dikasihani.
Sitti Irene Komala Dewi wafat dengan tenang, membawa serta senyumnya, dan mewariskan cinta yang tidak akan lekang.
Ketika jasadnya diturunkan ke liang lahat, langit mendadak runtuh. Hujan turun deras, seolah langit pun turut menangis.
Ia memang telah pergi, tapi kisahnya masih ada—di dalam relung hati keluarga, sahabat-sahabatnya. Bahwa hidup, sesakit apa pun, tetap bisa dijalani dengan cinta.
By
