Sebut saja Hardi terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia menoleh ke samping, melihat (sebut saja Delly), istrinya, masih tertidur pulas. Mimpi tadi terasa begitu nyata—seakan ia benar-benar telah mengkhianati perempuan yang paling ia cintai.
Dalam mimpi itu, Hardi berada di sebuah kafe temaram. Di hadapannya duduk seorang wanita yang bukan istrinya. Namanya Nina, perempuan dengan senyum menggoda dan mata yang seolah menelanjangi jiwanya. Mereka berbincang, tertawa, lalu entah bagaimana tangan mereka bertaut. Sentuhan itu membakar, membuatnya lupa bahwa ia sudah menikah.
Semakin larut, mereka pindah ke kamar hotel. Jantung Hardi berdebar kencang saat Nina mendekat, bibir mereka hampir bersentuhan.
Lalu ia terbangun.
Hardi duduk di tepi ranjang, menatap tangannya sendiri. Ia bisa merasakan sisa hangat jemari Nina yang sesungguhnya tak pernah nyata. Tapi mengapa rasanya seperti sungguhan?
Pagi harinya, saat sarapan, Delly menatapnya curiga. “Kamu kenapa? Mukanya tegang.”
Hardi menggeleng. “Mimpi buruk.”
“Tentang apa?”
Ia ragu. Haruskah ia jujur? Tapi bagaimana menjelaskan bahwa ia merasa bersalah atas sesuatu yang hanya terjadi dalam mimpinya?
Tepat saat itu, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
“Mimpimu menyenangkan, kan? Kita bisa lanjut malam ini.”
Jantung Hardi nyaris berhenti.