Setiap sore, aku selalu menunggu bapak pulang di depan pintu. Senyumku melebar ketika sosoknya yang lelah muncul di balik gerbang. Itu adalah pesan ibuku. “Nak, sambutlah bapakmu dengan riang, karena dunia luar begitu keras padanya.”
Ibuku sering berbicara dengan lembut sambil menyisir rambutku. “Tahukah kau, Nak, apa bedanya ibu dan bapak?” tanyanya suatu malam. Aku hanya menggeleng.
“Ibu membawamu dalam rahim selama sembilan bulan, tapi bapakmu membawa beban tanggung jawabmu sepanjang hidupnya. Ibu selalu memastikan kau kenyang, tapi bapak yang mengajarkan caramu bertahan hidup.”
Aku terdiam, memikirkan semua hal yang selama ini tak pernah kusadari. Ibuku melanjutkan, “Ibu memelukmu erat, tapi bapakmu memikulmu di punggung, bahkan saat tubuhnya lelah. Cinta ibu mudah kau rasakan, tapi cinta bapak, kau baru akan mengerti saat kau menjadi seorang bapak kelak.”
Kata-kata itu menempel di hatiku. Kini, setiap kali aku melihat wajah lelah yang tetap tersenyum padaku, aku tahu, ada cinta tak terucap di sana. Cinta yang tak bisa dihitung oleh waktu, cinta yang tak ternilai oleh apapun.
Aku mengerti sekarang, mengapa ibuku selalu memintaku tersenyum untuk bapak. Itu adalah caraku menunjukkan bahwa semua perjuangannya tak sia-sia.