Malam Imlek itu hujan sangat deras di kota kecil tempat Liana tinggal. Lampion merah bergoyang tertiup angin, sementara suara petasan sesekali terdengar dari kejauhan. Di meja makan, hidangan khas sudah tersaji: ikan kukus, ayam panggang, lumpia, dan tentu saja, kue keranjang kesukaan nenek.
Liana menatap ponselnya, berharap ada pesan dari ibunya yang bekerja di luar negeri. Setiap Imlek, mereka biasanya video call bersama nenek, tapi tahun ini, ibunya belum menghubungi.
“Nenek, aku taruh kue keranjangnya di sini, ya?” tanya Liana sambil menyusun makanan di altar leluhur.
Nenek tersenyum, matanya penuh kenangan. “Dulu, kakekmu selalu membelikan kue keranjang paling enak untuk kita,” katanya pelan. “Sekarang, kita harus meneruskan tradisi.”
Liana mengangguk. Ia ingat bagaimana nenek selalu bercerita tentang masa kecilnya, tentang Imlek yang selalu dirayakan dengan sederhana tapi penuh kehangatan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk—ibunya!“Gōng xǐ fā cái, Ma!” suara ibunya terdengar ceria.
Nenek segera mendekat, wajahnya berbinar-binar. Mereka bertiga berbicara panjang lebar, tertawa, dan mengenang masa lalu. Meskipun jarak memisahkan, hati mereka tetap dekat, seperti manisnya kue keranjang yang lengket, menyatukan keluarga di setiap perayaan Imlek.